Pentingnya Metodologi dalam Penulisan Sirah
Sirah Nabawiyah bukanlah kumpulan cerita yang bebas dari kaidah ilmiah. Para ulama salaf, khususnya ahli hadits, menerapkan standar validasi yang ketat dalam menukil kisah-kisah kehidupan Rasulullah ﷺ. Mereka menyadari bahwa sirah bukan sekadar sejarah, melainkan bagian dari agama yang perlu dijaga keotentikannya.
Ulama Perintis dalam Penulisan Sirah
Di antara para ulama yang berkontribusi besar dalam penulisan sirah adalah:
1. Ibnu Ishaq (w. 151 H)
Beliau dikenal sebagai perintis penulisan sirah secara sistematis. Karyanya yang terkenal As-Sirah Al-Mubtada’ah dikumpulkan oleh muridnya, Ibnu Hisyam. Meski terdapat beberapa riwayat dha’if, Ibnu Ishaq tetap dianggap sebagai rujukan penting.
2. Ibnu Hisyam (w. 218 H)
Ia menyusun ulang dan menyaring riwayat dari kitab Ibnu Ishaq. Ia menghapus riwayat-riwayat yang terlalu lemah dan menambahkan penjelasan bahasa dan syair Arab, menjadikan sirah ini lebih tertata dan ilmiah.
3. Al-Waqidi (w. 207 H)
Beliau menulis Kitab Al-Maghazi yang memuat detail peperangan Rasulullah ﷺ. Namun, para ulama hadits seperti Imam Ahmad dan Imam Bukhari menilai banyak riwayatnya lemah.
4. Ibnu Sa’d (w. 230 H)
Murid dari Al-Waqidi, beliau menyusun At-Tabaqat Al-Kubra yang memuat biografi Nabi ﷺ serta para sahabat dan tabi’in dengan gaya yang lebih sistematis.
5. Ibnu Katsir (w. 774 H)
Dalam Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menyajikan sirah dengan pendekatan ulama hadits. Ia menyaring riwayat-riwayat dari segi sanad dan matan serta banyak mengutip dari tafsir dan hadits sahih.
Kriteria Validasi Riwayat dalam Sirah
Ulama hadits menerapkan kriteria yang sama dalam menilai riwayat sirah sebagaimana dalam penilaian hadits:
-
Sanad yang bersambung (muttashil)
-
Perawi yang tsiqah (terpercaya)
-
Bebas dari syadz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat tersembunyi)
Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata:
لَا يُقْبَلُ فِي السِّيَرِ إِلَّا مَا كَانَ مِثْلَ مَا يُقْبَلُ فِي الْحَدِيثِ
Tidak diterima dalam sirah kecuali apa yang juga diterima dalam hadits.
Namun, sebagian ulama membolehkan menggunakan riwayat lemah dalam sirah dengan syarat:
-
Tidak berkaitan dengan akidah atau hukum syar’i
-
Tidak terlalu lemah
-
Tidak bertentangan dengan riwayat shahih
Sikap terhadap Riwayat Dha’if dan Israiliyat
Riwayat dha’if memang banyak tersebar dalam kitab-kitab sirah. Oleh karena itu, para ulama memberikan panduan:
-
Boleh disebutkan dalam konteks pelengkap, bukan hujjah
-
Tidak boleh dijadikan dasar keyakinan
-
Harus diteliti kebenarannya jika menyangkut aqidah dan syariat
Adapun Israiliyat adalah riwayat yang bersumber dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:
لا يُقْبَلُ مِنَ الإِسْرَائِيلِيَّاتِ إِلَّا مَا صَحَّ عَنْهُ شَرْعُنَا، أَوْ لَمْ يُخَالِفْهُ، وَيُرْوَى عَلَى سَبِيلِ النَّقْلِ
Israiliyat tidak boleh diterima kecuali yang sesuai dengan syariat kita, atau tidak bertentangan dengannya, dan hanya diriwayatkan sebagai informasi.
Tidak Ada Glorifikasi atau Celaan Berlebihan
Ulama salaf menyusun sirah secara proporsional. Mereka tidak berlebihan dalam memuji atau mencela. Bahkan ketika mencatat momen Nabi ﷺ ditegur oleh Allah ﷻ, mereka menuliskannya dengan objektif. Inilah ciri khas sirah nabawiyah yang membedakannya dari biografi tokoh-tokoh lain.
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|