Puasa bagi Musafir: Kapan Boleh Membatalkan?

Pengantar

Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim, namun Islam memberikan keringanan (rukhshah) bagi musafir untuk tidak berpuasa. Hal ini menunjukkan kemudahan dalam syariat Islam yang mempertimbangkan kondisi setiap individu.

Namun, kapan musafir boleh membatalkan puasanya? Apakah lebih utama tetap berpuasa atau berbuka? Artikel ini akan membahas hukum puasa bagi musafir, dalil-dalilnya, serta kapan diperbolehkan membatalkan puasa sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ.


1. Dalil Diperbolehkannya Musafir Tidak Berpuasa

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barang siapa sakit atau dalam perjalanan, maka wajib menggantinya pada hari-hari lain.”
📖 (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini memberikan keringanan bagi musafir untuk berbuka jika merasa berat menjalankan puasa saat bepergian.

Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصِّيَامَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ

“Sesungguhnya Allah telah meringankan puasa dan mengurangi separuh shalat bagi musafir.”
📖 (HR. An-Nasa’i no. 2275, dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa dan shalat memiliki keringanan bagi musafir, termasuk diperbolehkan berbuka puasa.


2. Kapan Musafir Boleh Membatalkan Puasa?

Musafir boleh berbuka dalam kondisi berikut:

1. Saat Sudah Memulai Perjalanan

Jika seseorang telah keluar dari kampung halamannya dan benar-benar dalam perjalanan, maka ia boleh berbuka puasa.

Dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنهما, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي سَفَرٍ فَرَأَىٰ زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan melihat ada orang yang dinaungi karena kelelahan. Beliau bertanya, ‘Apa ini?’ Para sahabat menjawab, ‘Dia sedang berpuasa.’ Rasulullah ﷺ lalu bersabda, ‘Bukanlah suatu kebajikan berpuasa dalam perjalanan.'”
📖 (HR. Al-Bukhari no. 1946, Muslim no. 1115)

Hadits ini menunjukkan bahwa jika puasa menyebabkan kesulitan saat perjalanan, maka berbuka lebih utama.

2. Jika Perjalanan Melebihi Jarak Safar (± 80 km)

Para ulama sepakat bahwa seseorang dikategorikan sebagai musafir jika perjalanannya lebih dari 80 km. Jika seseorang melakukan perjalanan di bawah jarak ini, maka ia tidak mendapatkan keringanan untuk berbuka.

Pendapat bahwa jarak safar adalah sekitar 80 km berasal dari pendapat jumhur ulama, termasuk Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.

Dalilnya adalah ijma’ (kesepakatan) sebagian sahabat dan qiyas terhadap jarak qashar shalat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/102) dan Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir (2/264).

Namun, sebagian ulama seperti Mazhab Maliki tidak menetapkan jarak tertentu, melainkan mendasarkan safar pada kebiasaan masyarakat dalam menyebut suatu perjalanan sebagai “safar.”

Kesimpulannya: Pendapat yang lebih kuat dan umum dipakai adalah jarak 80 km sebagai batasan safar, tetapi tetap ada perbedaan pandangan di kalangan ulama.

3. Jika Puasa Menyebabkan Kesulitan

Jika puasa menyebabkan kesulitan bagi musafir, maka berbuka lebih dianjurkan.

Dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنهما, ia berkata:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي سَفَرٍ، فَصَامَ قَوْمٌ وَأَفْطَرَ آخَرُونَ، فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلَا المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

“Kami pernah bepergian bersama Rasulullah ﷺ, sebagian dari kami berpuasa dan sebagian lainnya berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka juga tidak mencela yang berpuasa.”
📖 (HR. Muslim no. 1117)

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah jika musafir ingin tetap berpuasa atau berbuka, selama tidak menyebabkan kesulitan.


3. Lebih Utama Berpuasa atau Berbuka?

Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama bagi musafir:

Pendapat pertama: Lebih utama tetap berpuasa jika tidak merasa berat.
Dalilnya adalah firman Allah ﷻ:

وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”
📖 (QS. Al-Baqarah: 184)

Pendapat kedua: Lebih utama berbuka jika perjalanan terasa berat.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ:

لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Bukan suatu kebajikan berpuasa dalam perjalanan.”
📖 (HR. Al-Bukhari no. 1946, Muslim no. 1115)

Kesimpulan:

  • Jika musafir mampu berpuasa tanpa kesulitan, maka lebih utama tetap berpuasa agar tidak perlu mengqadha di hari lain.
  • Jika perjalanan terasa berat, maka lebih utama berbuka karena Islam tidak ingin membebani umatnya.

4. Bagaimana Cara Mengganti Puasa yang Ditinggalkan?

Jika seorang musafir berbuka, ia wajib mengqadha (mengganti) puasanya setelah Ramadhan.

Allah ﷻ berfirman:

فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka wajib menggantinya pada hari-hari lain.”
📖 (QS. Al-Baqarah: 184)

Puasa qadha dapat dilakukan kapan saja sebelum datang Ramadhan berikutnya.
Tidak harus dilakukan berturut-turut, boleh dicicil sesuai kemampuan.


Kesimpulan

Musafir boleh berbuka jika perjalanannya sudah dimulai dan melebihi 80 km.
Jika puasa terasa ringan, maka lebih utama tetap berpuasa.
Jika perjalanan terasa berat, maka lebih utama berbuka.
Puasa yang ditinggalkan wajib diqadha setelah Ramadhan.

Islam adalah agama yang penuh dengan kemudahan. Allah ﷻ tidak membebani hambanya dengan sesuatu di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, gunakanlah keringanan ini dengan bijak sesuai dengan keadaan masing-masing.

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top
1
Admin Yayasan Amal Mata Hati
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ada yang bisa kami bantu?