Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Puasa: Mana yang Harus Diikuti?

Pengantar

Dalam fiqih Islam, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait berbagai hukum puasa. Perbedaan ini muncul karena perbedaan dalam memahami dalil, tingkat kekuatan hadits, serta metode ijtihad yang digunakan oleh para ulama.

Lalu, bagaimana sikap seorang Muslim dalam menghadapi perbedaan ini? Apakah harus mengikuti mazhab tertentu, atau cukup memilih pendapat yang paling mudah? Artikel ini akan membahas sebab-sebab perbedaan pendapat dalam fiqih puasa, contoh kasus, dan bagaimana sikap yang benar dalam mengikutinya.


1. Mengapa Ada Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Puasa?

Perbedaan pendapat dalam fiqih puasa tidak terjadi tanpa sebab. Beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan di antara para ulama adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan dalam Memahami Dalil

Sebagian dalil memiliki pemahaman yang luas, sehingga ulama bisa memiliki interpretasi yang berbeda.

Contohnya adalah masalah niat puasa, apakah harus diucapkan atau cukup dalam hati?

  • Pendapat pertama: Harus diucapkan dengan lisan.

  • Pendapat kedua: Cukup dalam hati, sebagaimana hadits:

    إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

    “Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya.”
    📖 (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907)

2. Perbedaan dalam Penetapan Derajat Hadits

Sebagian ulama menerima hadits tertentu sebagai shahih, sementara ulama lain menganggapnya dha’if atau hasan.

Contoh: Hukum puasa Syaban secara penuh

  • Sebagian ulama membolehkan berpuasa penuh di bulan Sya’ban berdasarkan hadits:

    كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

    “Beliau (Nabi ﷺ) berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya.”
    📖 (HR. An-Nasa’i no. 2355, dishahihkan oleh Al-Albani)

  • Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Nabi ﷺ tidak berpuasa penuh di bulan Sya’ban berdasarkan hadits lain yang membatasi jumlah harinya.

3. Perbedaan dalam Qiyas dan Ijtihad

Para ulama menggunakan metode ijtihad yang berbeda, sehingga hukum yang dihasilkan pun bisa berbeda.

Contoh: Hukum menggunakan siwak ketika berpuasa

  • Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Siwak boleh digunakan sepanjang hari.
  • Mazhab Hanafi dan Maliki: Siwak boleh digunakan, tetapi makruh jika dilakukan setelah waktu Dzuhur.

2. Contoh Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Puasa

Berikut adalah beberapa contoh perbedaan pendapat yang sering terjadi dalam fiqih puasa:

Masalah Pendapat Pertama Pendapat Kedua Dalil
Apakah muntah membatalkan puasa? Jika muntah dengan sengaja, puasanya batal. Puasa tetap sah selama tidak muntah dengan sengaja. HR. At-Tirmidzi no. 720, disahihkan oleh Al-Albani
Berbuka puasa dengan kurma ganjil atau genap? Lebih utama dengan tiga butir kurma. Boleh dengan satu atau dua butir kurma. HR. Al-Bukhari no. 1954, Muslim no. 1095
Hukum menyikat gigi saat puasa Makruh setelah Dzuhur. Boleh kapan saja. HR. Abu Dawud no. 2365

3. Sikap yang Benar dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat dalam fiqih adalah rahmat bagi umat Islam, asalkan masih dalam batasan dalil yang sahih dan tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Berikut adalah sikap yang benar dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih puasa:

1. Mengikuti Pendapat yang Berdasarkan Dalil yang Kuat

Seorang Muslim sebaiknya memilih pendapat yang memiliki dalil yang lebih kuat, bukan hanya karena mudah atau sesuai dengan hawa nafsu.

Allah ﷻ berfirman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
📖 (QS. An-Nisa: 59)

2. Menghormati Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Jika suatu masalah memiliki perbedaan pendapat yang didasarkan pada dalil, maka tidak boleh saling mencela.

Dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُونَ

“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam beragama.”
📖 (HR. Muslim no. 2670)

3. Bertanya kepada Ulama yang Lebih Paham

Jika seorang Muslim tidak mampu memahami sendiri perbedaan pendapat dalam fiqih, maka ia harus bertanya kepada ulama atau guru yang terpercaya.

Allah ﷻ berfirman:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.”
📖 (QS. An-Nahl: 43)

4. Tidak Fanatik terhadap Mazhab atau Pendapat Tertentu

Sebagian orang hanya mengikuti satu mazhab dan menganggap mazhab lain salah, padahal perbedaan pendapat dalam fiqih adalah hal yang wajar.

Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:

“Tidak boleh seorang pun mewajibkan orang lain untuk mengikuti mazhab tertentu. Setiap Muslim wajib mengikuti dalil yang paling kuat.”
📖 (Majmu’ Al-Fatawa, 20/207)


Kesimpulan

Perbedaan pendapat dalam fiqih puasa terjadi karena perbedaan dalam memahami dalil, derajat hadits, dan metode ijtihad.
Contoh perbedaan pendapat: hukum muntah saat puasa, siwak setelah Dzuhur, dan berbuka dengan jumlah kurma ganjil atau genap.
Sikap yang benar dalam menghadapi perbedaan pendapat:

  1. Mengikuti pendapat yang berdasarkan dalil yang kuat.
  2. Menghormati pendapat ulama yang berbeda.
  3. Bertanya kepada ahli ilmu jika tidak memahami.
  4. Tidak fanatik terhadap mazhab tertentu.

Islam adalah agama yang mudah dan penuh dengan rahmat, sehingga perbedaan dalam fiqih seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan menjadi kekayaan keilmuan yang saling melengkapi.

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top
1
Admin Yayasan Amal Mata Hati
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ada yang bisa kami bantu?