Dalam setiap akad yang sah menurut syariat Islam, para pihak yang berakad harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar akad tersebut memiliki kekuatan hukum. Tidak semua orang diperbolehkan atau dianggap sah dalam melakukan akad, sebab syariat memberikan ketentuan agar tidak terjadi ketidakadilan atau penipuan dalam muamalah.
Baligh: Sudah Dewasa Menurut Syariat
Syarat pertama adalah baligh. Seorang anak yang belum baligh tidak sah akadnya, karena ia belum dianggap mukallaf (terbebani hukum). Rasulullah ﷺ bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena (catatan dosa dan pahala) diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Abu Dawud, no. 4403; Syaikh Al-Albani: shahih)
Anak-anak tidak memiliki wewenang untuk mengikatkan diri dalam akad, kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin walinya.
Berakal: Tidak Gila atau Hilang Akal
Akad hanya sah jika dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat. Orang yang gila, mabuk, atau kehilangan akal tidak sah melakukan akad karena tidak memahami konsekuensi dari akad tersebut.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan karena kebodohan, kemudian mereka segera bertaubat.” (QS. An-Nisā’: 17)
Ayat ini menunjukkan pentingnya kesadaran dan akal dalam berbuat, termasuk dalam berakad.
Tidak Terpaksa
Akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa, di bawah ancaman atau tekanan, adalah tidak sah. Islam menjunjung tinggi kebebasan dan keadilan dalam transaksi.
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَنْ الْخَطَإِ وَالنِّسْيَانِ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku atas kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka lakukan karena dipaksa.” (HR. Ibnu Mājah, no. 2045; Syaikh Al-Albani: shahih)
Karena itu, syarat keabsahan akad adalah bahwa pihak yang berakad melakukannya atas kehendak sendiri tanpa tekanan.
Wali dan Wakil dalam Akad
Dalam beberapa jenis akad, seperti pernikahan dan jual beli yang melibatkan orang tidak cakap hukum, syariat menetapkan adanya wali atau wakil.
Contohnya dalam nikah, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah tanpa wali.” (HR. Abu Dawud, no. 2085; Syaikh Al-Albani: shahih)
Dalam transaksi muamalah, seseorang juga boleh diwakilkan selama wakilnya telah diberi kuasa dan memahami akad yang dilakukan. Allah ﷻ berfirman:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Ini menjadi dasar bolehnya wakalah (perwakilan) dalam akad.
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|