Definisi Rahn Menurut Bahasa dan Istilah Syar’i
Secara bahasa, rahn (الرَّهْنُ) bermakna tetap dan jaminan. Imam Ibnu Faris menjelaskan bahwa kata rahn berasal dari akar kata (ر-ه-ن) yang menunjukkan makna menetap dan terikat. Dalam konteks transaksi, maknanya berkembang menjadi menahan suatu barang sebagai jaminan.
Adapun secara istilah, rahn adalah:
“Menjadikan suatu barang yang bernilai sebagai jaminan utang, agar jika pihak yang berutang gagal melunasi, barang tersebut dapat dijual untuk menutupi utangnya.”
Imam Nawawi رحمه الله menyebutkan:
الرهن هو توثقة دينٍ بعينٍ يمكن استيفاء الدين منها أو من ثمنها إن تعذر الوفاء
“Rahn adalah penguatan utang dengan suatu barang yang memungkinkan untuk melunasi utang darinya atau dari harganya jika tidak mampu melunasinya.” (Al-Majmū‘, 9/390)
Dasar Hukum Rahn dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah ﷻ berfirman:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‘amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Ayat ini secara eksplisit membolehkan rahn, khususnya dalam kondisi safar, tetapi para ulama sepakat bahwa kebolehannya berlaku baik dalam perjalanan maupun ketika bermukim.
Dalil dari As-Sunnah
Disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah رضي الله عنها:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ
“Rasulullah ﷺ membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tempo, lalu beliau menjadikan baju besi beliau sebagai jaminan (rahn).” (HR. Al-Bukhari no. 2509, Muslim no. 1603)
Hadits ini menunjukkan bahwa akad rahn dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sendiri, dan hal itu membuktikan kebolehannya secara praktis dalam Islam.
Hukum Asal Rahn dan Penggunaannya dalam Islam
Para ulama dari empat madzhab sepakat bahwa rahn hukumnya mubah (boleh), dan bahkan dianjurkan dalam keadaan yang membutuhkan penguatan akad utang piutang.
Rahn dapat diterapkan dalam berbagai bentuk transaksi utang:
-
Pinjaman tunai
-
Pembelian dengan pembayaran tempo
-
Ganti rugi dan utang syar’i lainnya
Namun, akad rahn tidak boleh menjadi sarana mengambil keuntungan, karena hal itu bisa menyebabkan masuknya unsur riba. Rahn adalah bentuk ta’āwun dan penguatan akad utang, bukan sarana komersial.
Islam sangat menekankan prinsip keadilan dan kejelasan dalam setiap mu’amalah. Allah ﷻ berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisā’: 29)
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|