Prinsip Penyelesaian Sengketa secara Damai
Islam mengajarkan penyelesaian masalah dengan cara yang adil, damai, dan mengedepankan musyawarah. Jika terjadi sengketa dalam jual beli, kedua pihak dianjurkan untuk saling memaafkan dan menyelesaikan secara baik-baik tanpa membawa perkara ke hadapan hakim kecuali jika sangat diperlukan.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِنۡ طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (QS. Al-Hujurāt: 9)
Ayat ini memberikan dasar pentingnya penyelesaian damai, termasuk dalam kasus pertikaian jual beli.
Kewajiban Mengembalikan Barang Rusak
Jika seseorang membeli barang dan barang tersebut ternyata rusak bukan karena kesalahan pembeli, maka penjual wajib menerima pengembalian dan mengembalikan uang yang telah diterima, atau mengganti barang dengan yang setara dan sehat.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا، أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا
Kaum Muslimin harus menepati syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Kewajiban ini berlaku selama tidak ada unsur kesengajaan dari pembeli dalam merusak barang tersebut.
Hak Pembeli dalam Mengembalikan Barang Cacat
Jika pembeli menemukan cacat pada barang yang dibelinya dan cacat itu tidak diinformasikan sebelumnya oleh penjual, maka ia memiliki hak khiyār ‘aib (pilihan karena cacat). Ia boleh membatalkan jual beli atau tetap menerima dengan potongan harga.
Imam Nawawi رحمه الله menjelaskan, “Jika diketahui adanya cacat setelah akad dan cacat itu tersembunyi, maka pembeli diberi hak khiyar.”
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَبِيعَ شَيْئًا إِلَّا بَيَّنَ مَا فِيهِ، وَلَا يَحِلُّ لِمَنْ عَلِمَهُ إِلَّا بَيَّنَهُ
Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu kecuali dia menjelaskan cacatnya. Tidak halal bagi yang mengetahuinya untuk menyembunyikannya. (HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Peran Lembaga Hisbah atau Pengawas Pasar
Dalam sejarah Islam, lembaga hisbah memiliki peran penting dalam mengawasi pasar dan menertibkan praktik muamalah agar sesuai syariat. Hisbah bertugas memastikan kejujuran penjual, menindak kecurangan, dan menjaga keadilan dalam transaksi.
Umar bin Khattab رضي الله عنه dikenal sangat tegas dalam mengawasi pasar. Beliau pernah berkata kepada salah satu penjual:
لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ
Janganlah ada yang berdagang di pasar kami kecuali orang yang sudah memahami agama. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dinilai hasan oleh sebagian ulama)
Dalam konteks modern, fungsi ini bisa dijalankan oleh lembaga resmi negara, koperasi Islam, atau otoritas syariah yang berwenang mengawasi pasar dan bisnis syariah.
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|