Pendahuluan
Salah satu ujian terbesar bagi manusia adalah ketika menghadapi emosi, terutama rasa marah. Marah adalah naluri manusia, namun Islam mengajarkan agar setiap muslim mampu mengendalikannya. Menahan amarah dan memberi maaf bukan tanda kelemahan, melainkan cerminan kekuatan jiwa dan kematangan iman.
Dalil dari Al-Qur’an tentang Menahan Marah dan Memaafkan
Allah ﷻ berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٣٤﴾
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang bertakwa, yaitu orang-orang yang berinfak di waktu lapang maupun sempit, yang menahan amarahnya dan memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Ali ‘Imran: 133–134).
Ayat ini menjelaskan bahwa menahan marah dan memaafkan orang lain merupakan ciri orang bertakwa yang dicintai oleh Allah ﷻ.
Hadits tentang Keutamaan Menahan Marah
Rasulullah ﷺ bersabda dari sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan diukur dari fisik, tetapi dari kemampuan seseorang menguasai dirinya di saat emosi.
Cara Menahan Amarah Menurut Sunnah
Rasulullah ﷺ memberikan tuntunan praktis agar seorang muslim dapat mengendalikan marah. Dari sahabat Sulaiman bin Shurad رضي الله عنه, beliau berkata:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ فَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا وَقَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Dua orang saling mencaci di hadapan Nabi ﷺ, dan salah satunya sangat marah hingga wajahnya memerah. Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Aku mengetahui satu kalimat yang jika ia ucapkan, marahnya akan hilang. Hendaklah ia mengucapkan: A‘ūdzu billāhi minasy-syaithānir-rajīm (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk)’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, Rasulullah ﷺ juga menganjurkan agar orang yang marah berdiam diri, berwudhu, atau mengubah posisi, seperti dari berdiri menjadi duduk, atau dari duduk menjadi berbaring, agar amarahnya reda.
Keutamaan Memaafkan
Memaafkan adalah sifat yang menunjukkan keluasan hati dan kedewasaan iman. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal memaafkan. Ketika beliau berhasil menaklukkan Makkah, beliau tidak membalas dendam kepada orang-orang Quraisy yang dahulu menyakitinya, melainkan berkata dengan lembut:
اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Pergilah, kalian semua bebas” (HR. Al-Baihaqi, shahih menurut Al-Albani).
Inilah puncak akhlak mulia, di mana seseorang mampu memaafkan saat ia memiliki kekuatan untuk membalas.
Dampak Positif Menahan Marah dan Memaafkan
-
Mendapat kasih sayang dan ampunan dari Allah ﷻ.
-
Menumbuhkan ketenangan batin dan kedamaian hati.
-
Meningkatkan kualitas hubungan sosial dan ukhuwah.
-
Menjauhkan diri dari dosa akibat ucapan dan tindakan saat marah.
Penutup
Menahan marah dan memaafkan adalah dua sifat utama yang harus dimiliki setiap muslim. Keduanya merupakan bukti kekuatan iman dan keteguhan jiwa. Dengan menahan marah, seseorang menjaga kehormatannya; dan dengan memaafkan, ia mendapatkan cinta dan ampunan dari Allah ﷻ.
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|