Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 9

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 9

Allah SWT berfirman:

يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ ( البقرة: ٩ )

Artinya:
Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. (QS. [2] Al-Baqarah : 9)

Allah membantah apa yang mereka yakinkan itu melalui firman-Nya:

Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari.

Dengan kata lain, mereka tidak mengelabui melalui perbuatannya yang demikian itu, tidak pula menipu, melainkan hanya diri mereka sendiri, sedangkan diri mereka tidak merasakan hal itu, sebagaimana yang disebutkan dalam firman lainnya:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An Nisa:142)

Di antara ahli qiraah ada yang membaca wama yakhda’una illa an-fusahum menjadi wama yukhadi’ una illa anfusahum yang artinya “tiada lain diplomasi yang mereka lakukan itu melainkan terhadap diri mereka sendiri”. Akan tetapi, kedua Qira’ah tersebut mempunyai makna yang sama.

Ibnu Jarir mengatakan, jika ada seseorang mengatakan mengapa orang yang munafik kepada Allah dan kepada kaum mukmin dapat dikatakan sebagai seorang penipu, sedangkan orang yang munafik itu tidak sekali-kali mengatakan apa yang bertentangan dengan batinnya hanyalah karena taqiyyah semata? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa orang-orang Arab menamakan ucapan yang bertentangan dengan hati sebagai sikap taqiyyah untuk menyelamatkan diri dari hal yang ditakutkan dengan nama mukhadi’. Demikian pula halnya dengan orang munafik, dia dinamakan mukhadi’ (orang yang menipu) Allah dan orang-orang mukmin dengan mengucapkan kata-kata yang dapat menyelamatkan dirinya dari pembunuhan, penahanan, dan siksaan yang segera, padahal di balik penampilan luarnya dia memendam kebencian. Yang demikian itu adalah salah satu dari sikap orang munafik, sekalipun dia menipu orang-orang mukmin dalam kehidupan di dunia ini, tetapi dia dengan perbuatannya itu sama saja menipu dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena perbuatan yang ditampakkannya itu menurutnya dapat memberikan apa yang dicita-citakannya dan kebahagiaan, padahal kenyataannya justru merupakan sumber kejatuhannya dan berakibat siksaan di hari kemudian serta murka Allah dan azab-Nya yang amat pedih tiada bandingannya. Tipuan yang ia lancarkan tersebut diduganya sebagai perbuatan yang baik buat dirinya, padahal sesungguhnya dia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri bagi kehidupannya di akhirat nanti, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya, “Tiadalah yang mereka tipu muslihatkan melainkan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak merasakannya.”

Ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa orang-orang munafik telah mencelakakan dirinya sendiri karena perbuatan mereka membuat Tuhan murka, yaitu kekufuran, keraguan, dan kedustaan yang mereka lakukan tanpa mereka rasakan dan tanpa mereka ketahui hingga membuat mereka buta dan menetapi perbuatannya itu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak dalam suratnya yang ditujukan kepadaku, bahwa telah menceritakan kepadanya Zaid ibnul Mubarak, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Saur, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan firman-Nya:

Mereka hendak menipu Allah.
Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka menampakkan kalimat tauhid dengan tujuan agar darah dan harta benda selamat, padahal di dalam hati mereka terdapat hal yang bertentangan dengan kalimat tauhid itu.

Sa’id telah mengatakan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:

Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepa-da Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari.
Bahwa ciri khas orang munafik pada umumnya ialah berakhlak rendah, percaya dengan lisan tetapi ingkar dengan hati, dan berbeda dengan perbuatan serta sepak terjangnya, di pagi hari berada dalam satu keadaan, sedangkan di petang harinya dalam keadaan lain, begitu pula kebalikannya, di petang hari dalam satu sikap, sedangkan di pagi harinya bersikap lain, ia terombang-ambing bagaikan perahu yang ditiup angin kencang dan hanya bersikap mengikuti arah angin.

Sumber Referensi : Tafsir Ibnu Katsir

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Hubungi Kami
Scan the code
Admin Yayasan Amal Mata Hati
Assalamu'alaikum
Adakah yang bisa kami bantu?