Pendahuluan
Utang adalah bagian dari muamalah yang dibolehkan dalam Islam, namun memiliki batas-batas dan etika yang harus dijaga. Berhutang dapat menjadi solusi ketika seseorang sedang membutuhkan, sementara mengutangi adalah bentuk tolong-menolong yang sangat dianjurkan. Namun tanpa etika yang benar, urusan utang dapat berubah menjadi konflik, kezhaliman, dan memutus silaturahmi. Artikel ini membahas etika berhutang dan menghutangi menurut syariat Islam, lengkap dengan dalil-dalil yang shahih.
Landasan Syariat dalam Utang-Piutang
Utang termasuk muamalah yang dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk kebaikan. Bahkan Allah ﷻ menyebut utang sebagai “pinjaman kepada Allah” karena besarnya pahala bagi orang yang mengutangi.
Allah ﷻ berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakannya dengan banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Ini menunjukkan keutamaan menolong orang lain melalui utang.
Etika Berhutang Menurut Syariat
1. Tidak Berhutang Kecuali Jika Sangat Dibutuhkan
Islam tidak menganjurkan seseorang untuk mudah berhutang kecuali dalam keadaan mendesak.
Rasulullah ﷺ sering berdoa agar dijauhkan dari lilitan utang, karena utang dapat menghilangkan ketenangan dan kejujuran.
2. Berniat untuk Melunasi Utang
Niat tulus untuk membayar adalah fondasi terpenting dalam berhutang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa mengambil harta manusia dengan niat ingin melunasinya, Allah akan membantunya melunasi. Barang siapa mengambilnya dengan niat ingin merusaknya, Allah akan merusaknya.” (HR. Al-Bukhari, dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
3. Tidak Menunda-nunda Pembayaran
Menunda pembayaran utang padahal mampu adalah kezaliman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda pembayaran bagi orang mampu adalah kezaliman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
Dalam kehidupan modern, ini termasuk:
— menghindar dari penagihan,
— memblokir kontak pemberi utang,
— pura-pura tidak mampu padahal mampu.
4. Mengembalikan Sesuai Jumlah yang Diutang
Utang harus dikembalikan sesuai jumlah yang diterima tanpa tambahan, kecuali pemberi utang rela tanpa syarat.
Riba dalam utang hukumnya haram.
5. Mencatat Utang Jika Jumlahnya Besar
Allah ﷻ memerintahkan mencatat utang dalam ayat terpanjang dalam Al-Qur’an.
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah dengan utang-piutang dalam waktu tertentu, maka tulislah.” (Al-Baqarah: 282)
Ini demi menjaga hak kedua pihak.
6. Menginformasikan Jika Tidak Mampu Membayar
Jika benar-benar tidak mampu, wajib menyampaikan dan meminta penangguhan.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ
“Jika (orang yang berutang) sedang dalam kesulitan, maka berikanlah waktu sampai ia mampu.” (Al-Baqarah: 280)
Menghilang tanpa kabar adalah perbuatan tidak amanah.
Etika Menghutangi Menurut Syariat
1. Ikhlas Menolong Sesama
Mengutangi adalah amal besar yang pahalanya melebihi sedekah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ صَدَقَةٌ
“Setiap utang adalah sedekah.” (HR. Ibn Mājah; shahih menurut Al-Albani)
2. Tidak Mensyaratkan Tambahan (Riba)
Setiap tambahan yang disyaratkan dalam utang adalah riba dan hukumnya haram.
Atsar shahih dari sahabat menyatakan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang yang mendatangkan manfaat (penting) bagi pemberi utang, maka itu adalah riba.”
Contoh modern riba dalam utang:
— meminjamkan uang dengan syarat harus membayar lebih,
— syarat membeli barang tertentu,
— syarat hadiah tertentu.
3. Tidak Mempersempit atau Menekan Orang yang Berutang
Penagihan harus dilakukan dengan santun dan tidak menzalimi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah merahmati seseorang yang lembut ketika menjual, membeli, dan menagih utang.” (HR. Al-Bukhari, dari Jabir رضي الله عنه)
4. Memberi Penangguhan Jika Debitur Kesulitan
Islam sangat menganjurkan memberikan kelonggaran bagi orang yang kesulitan.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ
“Jika ia dalam kesulitan, maka beri tenggang waktu sampai ia mampu.” (Al-Baqarah: 280)
Dalam Islam, menekan orang yang kesulitan adalah perbuatan tercela.
5. Menghapus Utang sebagai Bentuk Kebaikan
Jika mampu, memaafkan utang orang yang kesulitan adalah amal besar.
Rasulullah ﷺ bersabda tentang seorang lelaki yang suka memudahkan penagihan:
فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ
“Maka Allah pun memaafkannya.” (HR. Muslim, dari Hudzaifah رضي الله عنه)
Penerapan Etika Utang-Piutang di Zaman Modern
1. Gunakan Catatan Digital atau Surat Perjanjian
Untuk menjaga hak kedua pihak, apalagi jika jumlah besar.
2. Hindari Pinjaman Online Berbunga
Mayoritas pinjol mengandung riba yang haram.
3. Gunakan Sistem Utang Syariah
Tanpa bunga, tanpa penalti, dan transparan.
4. Berhutang Sesuai Kemampuan
Hindari berhutang untuk gaya hidup.
5. Menagih dengan Adab
Tanpa merendahkan, tanpa mempermalukan, dan tanpa kekerasan.
Kesimpulan
Etika berhutang dan menghutangi dalam Islam berdasarkan prinsip kejujuran, amanah, kelembutan, dan menjauhi riba. Berhutang hanya ketika sangat perlu dan harus dilunasi tepat waktu. Menghutangi adalah bentuk tolong-menolong yang berpahala besar, namun harus dilakukan tanpa mengambil keuntungan dari debitur. Dengan menerapkan etika syar’i ini, hubungan antarmanusia menjadi lebih harmonis dan penuh keberkahan.
Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat, B.A., Lc
![]() |
|

